Nila Wati, S.HI
Nip. 19800505 201410 2 001
SMP Negeri 5 Lhoksukon
Abstrak
Pendidikan agama Islam merupakan suatu pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai agama agar bisa menjadikan siswa beriman dan bertakwa kepada Allah Swt. Pendidikan agama Islam tidak bisa jauh dari pendidikan karakter karena keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu menjadikan siswa agar memiliki karakter yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Sebagian besar Muslim itu berpendidikan, tetapi mereka tidak mempunyai karakter Islam. Itu merupakan tantangan seorang guru PAI dalam membangun karakter siswanya. Strategi dalam hal pembelajaran juga harus diperhatikan agar siswa mampu menerima ajaran dan dapat menerapkan di lingkungan sekitar.
Kata Kunci: Pendidikan Agama Islam, Menteri Agama, Karakter Kebangsaan
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah suatu pedoman awal dan terpenting dari seorang Muslim, baik pria maupun wanita. Karakter (Akhlaque al-hasana) adalah suatu kondisi yang wajib untuk dimiliki dan diamalkan juga. Pendidikan dan karakter keduanya memang sangat kental dan tidak bisa dipisahkan bagi kita. Ini merupakan hal yang saling melengkapi satu sama lain. Memang benar pendidikan itu dibutuhkan untuk semua umat manusia dan manusia pun tidak bisa hidup tanpa adanya pendidikan. Jika terdapat pertanyaan-pertanyaan seperti apa dasar sistem pendidikan yang wajib ada untuk manusia, tentu saja jawabannya ialah sistem pendidikan yang komprehensif atau lebih mendalam. Sekarang, sebagai seorang Muslim kami percaya bahwa Islam dan sistem pendidikan Islam lebih komprehensif daripada sistem pendidikan lainnya. Dilihat dari sisi lain, karakter adalah faktor yang paling utama dan mendasar bagi seorang umat manusia.
Tanpa adanya peran karakter yang baik tidak ada yang bisa diperlakukan sebagai manusia. Dengan tidak adanya karakter yang baik di dalam manusia, mereka tidak akan menjadi Muslim yang sempurna, mereka juga tidak akan membentuk sikap cinta terhadap bangsa yang layak. Ini adalah identitas penting dari seorang Muslim. Seorang individu yang tidak memiliki karakter yang baik untuk sesama manusia, mereka tidak akan bisa untuk menolong dirinya sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, mereka menjadi individu yang tidak baik bagi sesama. Maka, untuk menjadi manusia yang berguna, seorang muslim harus memilik karakter yang baik. Berlaku juga untuk seluruh manusia, terutama umat Rasulullah yaitu Nabi Muhammad SAW.
Pendidikan agama islam yang berada di sekolah dapat diartikan sebagai suatu program pendidikan yang menanamkan nilai-nilai dari Islam melalui proses pembelajaran, seperti di dalam kelas maupun di luar kelas yang dikemas dalam bentuk mata pelajaran dan diberi nama Pendidikan Agama Islam atau disingkat PAI. Dalam kurikulum nasional, mata pelajaran PAI merupakan mata pelajaran wajib di sekolah umum sejak TK sampai Perguruan inggi. Kurikulum PAI dirancang secara khusus sesuai dengan situasi, kondisi dan penjenjangan pendidikan siswa dan mahasiswa.
Dari konsep pendidikan Islam dan pengertian PAI di sekolah, maka keberadaan mata pelajaran PAI di sekolah merupakan salah satu media pendidikan Islam. Segala upayanya harus selalu merujuk pada konsep pendidikan Islam secara utuh. Misi utama PAI adalah membina kepribadian siswa dan mahasiswa secara utuh dengan harapan kelak mereka akan menjadi ilmuwan yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, mampu mengabdikan ilmunya untuk kesejahteraan umat manusia. Profil di atas merupakan tolak ukur sosok manusia Indonesia yang utuh dan diharapkan mampu menjawab berbagai tantangan dalam perkembangan global. Melihat keberadaannya di sekolah, secara institusional pelaksanaan PAI terikat oleh sistem persekolahan yang cenderung menganut sistem pendidikan sekuler. Di suatu sisi PAI merupakan sub sistem dari sistem pendidikan nasional, namun di sisi lain PAI sebagai sub sistem dari sistem pendidikan Islam yang dituntut mengembangkan sistem materi dan pengelolaan tersendiri sesuai dengan karakteristik pendidikan Islam. Oleh karena itu, persoalan yang dihadapi PAI di sekolah sangat berbeda dengan persoalan pendidikan Islam secara keseluruhan.
Dalam sistem pendidikan persekolahan terdapat dua istilah yaitu pendidikan dan pengajaran. Terhadap kedua istilah di atas para praktisi pendidikan lebih cenderung ke arah pengajaran bukan pendidikan. Berkaitan dengan makna visi dan misi mata pelajaran PAI di sekolah, untuk membentuk kepribadian murid sebagai pribadi yang utuh diperlukan untuk diperlukan pendidikan agama bukan pengajaran agama. Namun yang terjadi di lapangan pada umumnya, baik di tingkat SD, SMP, dan SMA maupun di Perguruan Tinggi adalah pengajaran agama bukan pendidikan agama. Mungkin hal seperti ini merupakan salah satu penyebab kemerosotan akhlak, khususnya di kalangan para siswa dan mahasiswa serta generasi muda secara keseluruhan.
Pendidikan bukan sekedar transfer informasi tentang ilmu pengetahuan dari guru kepada murid, melainkan suatu proses pembentukan karakter. Ada tiga misi utama pendidikan yaitu Pewarisan Pengetahuan (Transfer of Knowledge), Pewarisan Budaya (Transfer of Culture), Pewarisan Nilai (Transfer of Value). Sebab itu, pendidikan bisa dipahami sebagai sautu proses transformasi nilai-nilai dalam rangka pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya. Sedangkan pengajaran lebih berorientasi pada pengalihan pengetahuan dan keterampilan untuk memperoleh keahlian khusus “tukang” atau spesialisasi yang terkurung dalam ruang spesialisasinya yang sempit tetapi sangat mendalam.
Berdasarkan dari dua pemikiran di atas, materi agama islam yang terdapat di sekolah umum diberi nama pendidikan agama Islam atau disingkat PAI , bukan Pengajaran Agama Islam atau Mata Pelajaran Agama Islam. Sebagai konsekuensinya, sudah semestinya materi pelajaran PAI disampaikan melalui proses pendidikan yang dilaksanakan secara utuh, menyeluruh dan berkesinambungan, karena peran PAI akan membentuk karakter yang baik serta dapat dipertahankan sampai akhir hayat nanti. Penyelenggaraan PAI di sekolah dapat dibedakan antara program dengan tujuan. PAI di sekolah umum merupakan salah satu program dari pendidikan Islam. Berfungsi sebagai media pendidikan Islam melalui lembaga pendidikan umum.
Nurcholis Madjid, (1999), membedakan penyelenggaraan pendidikan agama kepada dua bagian: pertama, program pendidikan yang bertujuan untuk mencetak ahli-ahli agama. Kedua, program pendidikan agama yang bertujuan untuk memenuhi kewajiban setiap pemeluk agama untuk mengetahui dan mengamalkan dasar-dasar agamanya. PAI di sekolah umum termasuk pada penyelenggaran yang kedua yaitu program pendidikan yang bertujuan membina siswa dan mahasiswa serta menjadikannya sebagai orang yang taat menjalankan perintah agamanya, bukan untuk menjadikan mereka sebagai ahli dalam bidang Islam. Untuk itu definisi PAI di sekolah adalah suatu mata pelajaran atau mata kuliah dengan tujuan untuk menghasilkan para siswa dan mahasiswa yang memiliki jiwa agama dan taat menjalankan perintah agamanya, bukan menghasilkan siswa dan mahasiswa yang berpengatahuan agama secara mendalam. Jadi titik tekannya di sini adalah mengarahkan siswa dan mahasiswa agar menjadi orang-orang yang beriman dan melaksanakan amal shaleh sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa pengetahuan agama Islam yang diberikan di sekolah umum diberi nama Pendidikan Agama Islam, karena PAI lebih di titik beratkan pada pembinaan kepribadian siswa dan mahasiswa bukan hanya pada pengembangan wawasan mereka tentang pengetahuan agama Islam semata. Sebab itu, segala upaya yang dilakukan dalam rangka Pendidikan Agama Islam di sekolah hendaknya mengarah pada pembinaan akhlak al-Karimah. Yang menjadi masalah ialah moralitas siswa dan remaja dewasa ini sudah menjadi problema umum dan merupakan pertanyaan yang belum ada jawabannya. Mengapa para siswa, sejak SMP, sudah banyak yang mengkonsumsi narkoba dan obat-obatan berbahaya lainnya? Mengapa para siswa tampak mudah marah dan sangat agresif sehingga gampang tersinggung dan dengan mudahnya terjadi tawuran? Dan mengapa para siswa sekarang ini sepertinya kurang, malah tidak hormat pada orang dewasa, bahkan terhadap guru dan orangtuanya sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan di atas memicu berbagai spekulasi yang belum pernah, dan tentunya perlu diuji kebenarannya. Misalnya, apakah telah terjadi “mal-edukasi” baik di sekolah ataupun di lingkungan keluarga? Atau malah memang sekolah dan keluarga dewasa ini tidak melaksanakan fungsi edukatif, yang terjadi hanyalah “transfer of knowledge”? atau malah lebih jauhnya lagi baik sekolah ataupun keluarga dewasa ini memang “abai” terhadap pendidikan akhlak?
Ada juga yang mempertanyakan di luar lingkup pendidikan, yang seolah- olah mengasumsikan bahwa telah terjadi pendidikan secara benar, tetapi ada sistem lain di luar pendidikan yang mengganggunya. Misalnya pertanyaan berikut: apakah nilai dan norma pergaulan para siswa sekarang ini sudah berubah, sehingga segala aturan yang dibuat oleh Negara, masyarakat, keluarga, dan bahkan agama dianggap telah menghambat kebebasan mereka? Sehingga aturan-
aturan itu diabaikan saja?
Pendidikan Karakter
Defnisi karakter dalam islam yaitu (Akhlaque al-hasana): dalam bahasa arab, karakter berasal dari kata „akhlaque‟ yang artinya kepribadian, sifat, perilaku, disposisi, pandangan, dan lain-lain. Secara global, karakter merupakan kecenderungan jiwa menuju jiwa yang lembut dan terpuji untutuk bertindak. Hal ini menunjukkan suatu perpaduan yang khas teruntuk mental dan perilaku yang dapat membedakan seseorang atau individu lain. Karakter dalam pandangan Islam ialah karakter yang memiliki rasa sadar dan lurus, dalam hal ini merupakan suatu prinsip maupun dasar dalam memiliki karakter yang baik. Didasarkan pada pemberian dan kepatuhan pada ajaran Islam sesuai dengan yang diperintahkan Allah dan Rasulnya yaitu Nabi Muhammad SAW. Termasuk juga kejujuran, ketulusan akhlak, sopan, mepunyai sikap yang baik, berbuat baik kepada sesama,
selalu cepat dalam berbuat baik, membantu seseorang untuk bersikap baik dan melakukan hal yang benar, menahan diri untuk menyakiti orang lain, dan lainnya dari aspek perilaku umat Islam. Sungguh, itu merupakan karakter dari seorang Nabi. Atas dasar iman, kita harys mengikuti Nabi. Nabi Muhammad pernah berkata, “saya diutus hanya untuk bersikap sopan dan bersikap sempurna”.
Istilah karakter dihubungkan dan dipertukarkan dengan istilah etika, akhlak, dan atau nilai dan berkaitan dengan kekuatan moral, bermakna “positif” dan bukan netral. Oleh karena itu pendidikan karakter secara lebih luas dapat diartikan sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya sebagai anggota masyarakat, dan warga Negara yang religious, nasionalis, produktif, dan kreatif.
Konsep tersebut harus disikapi secara serius oleh pemerintah dan masyarakat sebagai jawaban dari kondisi riil yang dihadapi bangsa Indonesia akhir-akhir ini yang ditandai dengan maraknya tindakan kriminalitas, memudarnya nasionalisme, munculnya rasisme, memudarnya toleransi beragama serta hilangnya religiusitas di masyarakat, agar nilai-nilai budaya bangsa yang telah memudar tersebut dapat kembali membudaya ditengah-tengah masyarakat. Salah satu upaya yang dapat segera dilakukan adalah memperbaiki kurikulum dalam sistem pendidikan nasional yang mengarahkan pada pendidikan karakter secara nyata.
Pemilihan panutan adalah masalah utama dalam membangun karakter seseorang. Sebagai contoh seperti desain atau rencana bangunan. Secara alami, manusia suka menuruti dan meniru perilaku orang lain. Menurutnya mereka bertindak dengan peran karakter yang salah atau benar di lingkup iman dan praktik, yaitu lingkup keluarga, sosial, budaya, dan agama. Tanpa bertindak dengan memiliki karakter yang baik, mereka akan berpikir secara bebas, bekerja tanpa nilai moral, kehilangan rasa tugas serta tanggung jawab, dan sedikit demi sedikit mereka akan menerima segala macam budaya dan tradisi yang bertentangan dengan Islam. Pada akhirnya, mereka kehilangan kualitas menjadi umat Islam yang dihargai. Jadi, itu merupakan hal yang wajib untuk masing-masing umat Islam. Tidak ada jalan alternatif untuk memimpin kehidupan menuju ke jalan yang damai dan makmur di dunia maupun di akhirat.
Allah swt berfirman, “hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amalan-amalan mu”. Yang dimaksud dalam firman tersebut ialah, kita harus mentaati perintah serta menjauhi larangan dari Allah dan Rasul, bisa dikatakan panutan dalam membentuk karakter dapat kita teladani dari Rasulullah SAW.
Didalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional sebenarnya pendidikan karakter menempati posisi yang penting, hal ini dapat kita lihat dari tujuan pendidikan nasional yang menyatakan bahwa:
“pendidikan nasional berfungsi mengembankan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Namun selama ini proses pembelajaran yang terjadi hanya menitik beratkan pada kemampuan kognitif anak sehingga ranah pendidikan karakter yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional tersebut hanya sedikit atau tidak tersentuh sama sekali. Hal ini terbukto bahwa standar kelulusan untuk tingkat sekolah dasar dan menengah masih memberikan presentase yang lebih banyak terhadap hasil Ujian Nasional daripada hasil evaluasi secara menyeluruh terhadap semua mata pelajaran.
Pendidikan karakter bukanlah berupa materi yang hanya bisa dicatat dan dihafalkan serta tidak dapat dievaluasi dalam jangka waktu yang pendek, tetapi pendidikan karakter merupakan sebuah pembelajaran yang teraplikasi dalam sebuah pembelajaran yang teraplikasi dalam semua kegiatan siswa baik di sekolah, lingkungan masyarakat dan di lingkungan rumah melalui proses pembiasaan, keteladanan, dan dilakukan secara berkesinambungan. Oleh karena itu tentu tidak ada alat evaluasi yang tepat dan serta merta dapat menunjukkan keberhasilan pendidikan karakter.
Konfigurasi karakter sebagai sebuah totalitas proses psikologis dan sosial-
kultural dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestik (Physical and kinesthetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and creativity development). Keempat proses psikososial (olah hati, olah piker, olah raga, dan olah rasa dan karsa) tersebut secara holistic dan koheren memiliki saling keterkaitan dan saling melengkapi, yang bermuara pada pembentukan karakter yang menjadi perwujudan dari nilai-nilai luhur.
Pendidikan karakter menjadi salah satu akses yang tepat dalam melaksanakan character building bagi generasi muda; generasi yang berilmu pengetahuan tinggi dengan dibekali iman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Peran Pendidikan Agama Islam Dalam Membentuk Karakter
Pendidikan Agama Islam dapat dirujuk dimana siswa belajar agama serta pengetahuan, dimulai dengan Al-Qu’an dan masalah ibadah, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Para siswa juga dapat mempelajari hal-hal lain seperti tata cara beretika saat makan dan minum, berpakaian secara Islami, berkeluarga dengan anjuran Rasul, berbisnis sesuai syariat, hukum pidana, dan warisan. Semua pengetahuan ini diambil dari Al-Qur’an serta Sunnah dan dari tulisan-tulisan para ulama Islam. Ini yang dimaksud dengan studi Islam. Istilah Pendidikan Agama Islam mampu memiliki makna yang lebih luas, dan mencakup pengetahuan secara umum dalam konteks kerja dimana guru, siswa, sekolah, dan seluruh kurikulum mematuhi nilai dan ajaran Islam. Dalam hal ini, siswa dapat mempelajari hal apapun yang perlu ia pelajari. Kurikulum akan mencakup beberapa materi yang ditujukan dalam pendidikan Agama Islam. Selain itu, kurikulum tidak akan membuat materi yang bertentangan dengan nilai dan ajaran dari Islam. Misalnya, dalam mempelajari materi biologi tidak boleh mengartikan bahwa alam merupakan pencipta kehidupan, kita cukup untuk menerima materi biologi tersebut dan tetap berkeyakinan pada Agama Islam. Demikian juga dengan perilaku saat makan menggunakan tangan kiri, ini hanyalah beberapa awal pikiran, kita harus tetap berlandaskan Al-Qur‟an dan Sunnah dari Rasulullah SAW.
Perlu diperhatikan bahwa pendidikan Agama Islam tidak hanya mendapat pengetahuan intelektual saja, tetapi itu adalah suatu cara untuk membentuk sifat dan karakter siswa sehingga mereka bisa secara kolektif mewakili nilai-nilai Islam. Misi yang dibuat dan dilaksanakan oleh Pendidikan Agama Islam adalah mendidik seseorang untuk menjadi manusia yang beriman serta bertakwa, sehingga dapat tercipta situasi dan kondisi masyarakat yang sejahtera, hingga masyarakat dapat hidup di alam semesta yang rahmatan lil alamin.
Tantangan Pendidikan Agama Islam dalam Membentuk Karakter
Selalu tidak ada keraguan bahwa mengatasi permasalahan yang telah dibahas diatas sangat sulit, tetapi tidak mustahil juga untuk dilaksanakan. Saya percaya bahwa, sangat mungkin dengan merevisi kurikulum dalam pendidikan dan memastikan karakter siswa berperilaku baik di lingkungan sekolah serta akan terus berlanjut dan bisa memberi masa depan yang terbebas dari kedzaliman dan bisa berguna bagi bangsa. Selama ini Pendidikan Agama Islam (PAI) yang terdapat disekolah sering dianggap kurang berhasil (kenapa kok kurang berhasil, karena untuk tidak mengatakan gagal) dalam mendidik sikap dan perilaku keberagaman peserta didik dan membentuk moral dan etika. Bermacam-macam argument atau pendapat yang dikemukakan untuk memperkuat statement tersebut, antara lain adanya indikator- indikator kelemahan yang melekat pada pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah, yang dapat di identifikasi sebagai berikut:
Pertama, Pendidikan Agama Islam kurang bisa mengubah pengetahuan agama kognitif menjadi makna dan nilai atau kurangnya untuk mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai keagamaan yang perlu di internalisasikan dalam diri peserta didik. Dengan maksud berbeda, Tafsir (2005) menyatakan bahwa pendidikan agama selama ini lebih menekankan pada aspek knowing dan doing yang belum banyak mengarah ke aspek being, yakni bagaimana peserta didik menjalani hidup sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai agama yang diketahui (knowing), padahal inti dari pendidikan agama itu berada pada aspek ini. Kedua, Pendidikan Agama Islam kurang dalam hal berjalan bersama dan bekerja sama dengan program-progam dari pendidikan non agama. Ketiga, Pendidikan Agama Islam kurang untuk mempunyai relevansi terhadap perubahan sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat atau kurang ilustrasi konteks sosial dan budaya, atau bersifat statis kontekstual dan lepas dari sejarah, sehingga para peserta didik kurang menghayati nilai-nilai yang tercipta dari agama sebagai nilai yang hidup pada keseharian. Bahkan dalam bentuk praktiknya, pendidikan agama itu berubah menjadi pengajaran agama, sehingga tidak mampu untuk membentuk peribadi yang bermoral, padahal intisari dari pendidikan agama adalah pendidikan moral.
Beberapa kemungkinan dan kesulitan dalam pendidikan agama Islam dan membentuk karakter.
Kemungkinan:
a. Ketersediaan aturan eksperimental pengetahuan tentang Al-Qur’an dan Sunnah ilmu pengetahuan dan metode ajaran-ajaran Rasul.
b. Kegagalan sistem pendidikan yang dirancang oleh manusia dan yang mengecewakan mempengaruhi antara keduanya yaitu umat Muslim yang memiliki persepsi berlawanan, sejumlah ateis, dan penentang Islam.
c. Kondisi yang cukup menjanjikan dari pendidikan berbasis nilai Islam di seluruh dunia.
Kesulitan:
a. Sejumlah siswa kesusahan dalam memahami Islam secara utuh dan menyeluruh sebagai pedoman hidup.
b. Kurangnya pengetahuan tentang Al-Qur’an dan sunnahtullah.
c. Metode yang kuno dalam kebutuhan kurikulum pendidikan agama Islam dan karakter serta metode pengajarannya.
d. Tidak adanya panutan saat ini dalam area pendidikan dan kepemimpinan.
Munculnya bermacam-macam kritik tentang kelemahan Pendidikan Agama Islam dan sekaligus kegagalan pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Agama Islam tersebut juga bisa jadi berarti disebabkan adanya kekeliruan dalam mentransfer sistem pengembangan pada kurikulum atau pembelajaran yang berkembang sampai saat ini, yang sebenarnya eksprimennya bukan berasal dari pendidikan tetapi dari bidang mata pelajaran lain. Kemudian diadopsi begitu saja tanpa daya kritis yang memadai. Untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah tersebut, maka perlu dicarikan atau membuat model-model dan metode dalam pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam dengan mendudukannya kembali kepada landasan filosofinya. Disamping itu berbagai kelemahan sekaligus kegagalan dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam tersebut tidak bisa dilepaskan dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi para pelaksana pendidikan Agama Islam.
Kesulitan dalam masalah ini rupanya bersumber dari awak budaya barat atau modern yang sudah meranah sampai ke Indonesia. Budaya modern menurut Tafsir (2007), memiliki ciri-ciri antara lain sebagai berikut. Pertama, budaya modern adalah budaya yang menggunakan akal sebagai alat pencari dan pengukuran kebenaran atau rasionalisme. Penggunaan akal dalam Islam sendiri bukan saja dibolehkan tetapi diharuskan. Banyak sekali bukti ayat dalam Al-Qur’an yang menyuruh para manusia untuk menggunakan akal dalam melakukan apa saja, namun Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa banyak juga kebenaran lain yang tidak dapat dipahami dan diperoleh dengan akal. Hakekat Allah, surga dan neraka, malaikat, wajib puasa pada bulan ramadhan dan shalat, segala perbuatan manusia yang tampak dan tersembunyi akan dilihat oleh Allah dan dicatat oleh malaikat Raqib dan Atit, dan masih banyak contoh yang lainnya merupakan sedikit dari ajaran yang supra rasional. Sementara itu para peserta didik terlalu terbiasa dan menggunakan akalnya dalam menanggapi setiap permasalahan baik melalui matematika, IPA, dan sebagainya, sehingga mereka akan sulit untuk menerima ajaran agama yang super rasional tersebut. Kedua, dalam budaya modern itu manusia akan semakin bersifat materalis. Bersamaan dengan meningkatnya laju pembangunan fisik, seseorang juga menghadapi dilemma yang sulit diselesaikan. Ketiga, dalam budaya modern itu manusia akan semakin bersifat individualisasi. Isitilah “persaingan” adalah muncul dari watak individualisme, sehingga banyak kasus yang terjadi seperti pertengkaran alasannya karena adanya persaingan, misalnya dalam dunia berdagang, politik, jabatan, dan lain-lain. Islam tidak mengajarkan persaingan tetapi mengajarkan tentang kerjasama atau kolaborasi. Keempat, karena budaya modern itu mulai berkembang dan diiringi dengan rasionalisme, maka salah satu turunannya ialah pragmatisme yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang berguna, dan yang berguna itu biasanya lebih bernuansa fisik. Paham pragmatisme ini memang akarnya adalah paham materialisme. Kelima, dari rasionalisme, materialisme itu muncul dan berbentuk hedonisme. Paham ini mengajarkan bahwa yang benar ialah sesuatu yang menghasilkan sebuah kenikamtan. Tugas dari manusia ialah menikmati hidup ini sebanyak dan seintensif mungkin, ironisnya yang ditemukan sebagai kenikmatan tertinggi yang paling berkesan ialah kenikmatan seksual. Itulah sebabnya pada zaman ini yaitu zaman modern dapat disaksikan hampir semua kegiatan dan produk manusia diarahkan ke kenikmatan seksual. Pergaulan seks bebas itu muncul dari paham ini. Jadi, sebagian isi dari kebudayaan modern itu merupakan musuh yang akan menghancurkan keberagaman masyarakat serta generasi masa depan terutama peserta didik. Sementara seseorang telah berniat untuk menjadi seseorang yang modern. Hal ini tentunya bukanlah sesuatu yang terlarang, tetapi orang tersebut harus mampu menyaring atau memilah nilai-nilai mana dari modernitas itu yang baik dan boleh diambil serta nilai mana yang buruk dan tidak boleh diambil. Pendidikan Agama bertugas memberikan filter atau edukasi dalam menghadapi permasalahan budaya modern tersebut.
Bertitik tolak dari tantangan dan problematika dari Pendidikan Agama Islam tersebut di atas, maka Pendidikan Agama Islam harus direformasikan melalui strategi dan metode pengembangannya. Terlebih misi Pendidikan Islam harus dikaitkan dengan pembentukan karakter/akhlak bangsa. Strategi yang dimaksud ialah strategi dalam membina dan membentuk IMTAQ atau iman dan taqwa dengan akhlakul karimah siswa di sekolah.
Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
Sementara itu nampak jelas bahwa baik dibidang pendidikan dan karakter adalah hal yang paling penting ataupun subyek yang penting bagi manusia, terutama kalangan siswa. Namun, guru-guru PAI tidak dapat menjamin untuk pendidikan dan pembentukan karakter akan berjalan dengan mudah. Tapi tidak ada ruang untuk memisahkan pengetahuan dan praktek. Hal ini berlaku sebagai bentuk kemunafikan dan sangat tidak disukai serta akan dihukum sesuai dengan ideologi Islam. Memang benar pemisahan antara pendidikan dan karakter menawarkan siswa agar menjadi pribadi yang berbeda dan itulah sebabnya, Indonesia belum banyak memiliki siswa yang berakhlak baik. Maka saya ingin menyampaikan sedikit usulan didalamnya:
a. Dengan menetapkan kurikulum dan pendidikan berbasis epistemologi Al-Qur’an dan Sunnah dengan aspek pragmatis sesegera mungkin.
b. Dengan menunjukkan studi banding dari pendidikan Islam dan karakteristiknya dengan sistem pendidikan lainnya.
c. Dengan menata pengajaran dan pelatihan guru PAI dan untuk memastikan bahwa para guru adalah mereka yang sudah terlatih dengan pengetahuan yang memadai dan juga sebagai muslim yang taat.
d. Dengan berinovasi sebuah proses yang antusias bagi guru, siswa, wali murid dan keprihatinan mereka dengan pendidikan demi kemajuan yang lebih baik dari kurikulum yang jelas aspeknya.
Tiap materi pelajaran mempunyai keunikannya sendiri tidak terkeculai dengan materi pendidikan agama Islam. Karakteristik dalam materi pendidikan agama Islam dapat diartikan sebagai suatu yang khas dan terdapat didalamnya, contoh karakteristik dalam PAI diantaranya,
a. PAI merupakan mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaran-ajaran pokok atau dasar yang terdapat dalam agama Islam, sehingga PAI merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran Islam.
b. Ditinjau dari segi muatan pendidikannya, PAI merupakan mata pelajaran pokok yang menjadi satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dengan mata pelajaran lain yang bertujuan untuk pengembangan moral dan kepribadian peserta didik. Semua mata pelajaran yang memiliki tujuan tersebut harus seiring dan sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh mata pelajaran PAI.
c. Mata pelajaran PAI, bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, berbudi pekerti yang luhur atau berakhlak yang mulia serta memiliki pengetahuan yang cukup tentang Islam, terutama sumber ajaran dan sendi-sendi Islam lainnya, sehingga dapat dijadikan bekal untuk memelajari berbagai bidang ilmu atau mata pelajaran tanpa harus terbawa oleh pengaruh-pengaruh negatif yang mungkin ditimbulkan oleh ilmu dan mata pelajaran tersebut.
d. PAI adalah mata pelajaran yang tidak hanya mengantarkan peserta didik dapat menguasai berbagai kajian keislaman, tetapi PAI lebih menekankan bagaimana peserta didik mampu menguasai kajian keislaman tersebut sekaligus dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari di tengah- tengah masyarakat. Dengan demikian, PAI tidak hanya menekankan pada aspek kognitif saja, tetapi yang lebih penting adalah pada aspek afektif dan psikomotornya.
e. Secara umum mata pelajaran PAI didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang ada pada dua sumber pokok ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan al-Sunnah Nabi Muhammad SAW (dalil naqli). Dengan melalui metode Ijtihad (dalil aqli) para ulama mengembangkan prinsip-prinsip PAI tersebut dengan lebih rinci dan mendetail dalam bentuk fiqih dan hasil- hasil Ijtihad lainnya.
f. Prinsip-prinsip dasar PAI tertuang dalam tiga kerangka dasar ajaran Islam, yaitu aqidah, syariah, dan akhlak. Aqidah merupakan penjabaran dari konsep iman, syariah merupakan penjabaran dari konsep Islam, dan akhlak merupakan penjabaran dari konsep ihsan.
Pada saat guru mengajar di kelas, salah satu yang paling penting adalah performance guru di kelas. Bagaimana seorang guru itu menguasai keadaan kelas sehingga tercipta suasana belajar yang menyenangkan. Dengan demikian guru harus menerapkan metode atau strategi pembelajaran yang sesusai dengan karakteristik peserta didiknya. Banyak alternatif metode pembelajaran yang bisa dipilih guru sesuai dengan kondisi kelas dan memperhatikan dengan seksama berbagai aspeknya. Berikut ini adalah beberapa metode pembelajaran yang bisa dipertimbangkan guru dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing:
1) Metode pembelajaran ceramah
Adalah penerangan secara lisan atas bahan pembelajaran kepada sekelompok pendengar untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu dalam jumlah yang relative besar. Seperti ditunjukkan oleh Mc Leish (1976), melalui ceramah, guru dapat mendorong timbulnya inspirasi bagi pendengarnya. Dalam pembelajaran PAI hampir membutuhkan metode ceramah dalam semua materi bahasanya. Bisa dikatakan bahwa semua pelajaran yang termasuk dalam bahasan materi PAI seperti bahasan dalam ketauhidan, akhlak, fiqih, dan ilmu fiqih, sejarah kebudayaan Islam, Al- Qur’an dan hadits semuanya bisa menggunakan metode ceramah. Metode ceramah hampir dapat dikombinasikan dengan semua metode ini. Meskipun demikian harus diingat bahwa ceramah atau kata-kata verbal biasanya bersifat abstrak dan tidak kongkrit, maka dari itu metode ceramah perlu dikombinasikan dengan metode belajar lainnya yang bersifat kongkrit dan langsung.
2) Metode diskusi
Proses perlibatan dua orang peserta didik atau lebih untuk berinteraksi saling bertukar pendapat, dan atau saling mempertahankan pendapat dalam pemecahan masalah, sehingga didapatkan kesepakatan diantara mereka. Pembelajaran yang menggunakan metode diskusi merupakan pembelajaran yang bersifat interaktif. Menurut Mc. Keachie-Kulik dari hasil penelitiannya, disbanding metode ceramah, metode diskusi dapat meningkatkan peserta didik dalam pemahaman konsep dan keterampilan memecahkan masalah. Tetapi dalam transformasi pengetahuan, penggunaan metode diskusi hasilnya lambat dibanding penggunaan ceramah. Sehingga metode ceramah lebih efektif untuk meningkatkan kuantitas dari pengetahuan peserta didik dari pada metode diskusi, meskipun membutuhkan waktu lebih lama, namun mendiskusikan materi PAI seperti bahasan dalam fiqih akan memaksimalkan pendekatan belajar, mereka akan menikmati proses menemukan yang mengasyikkan.
3) Metode Demonstrasi
Merupakan metode pembelajaran yang sangat efektif untuk menolong para peserta didik mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimana cara mengaturnya? Bagaimana proses kerjanya? Bagaimana proses mengerjakannya. Demonstrasi sebagai metode pembelajaran adalah bilamana seorang guru atau demonstrator (orang luar yang sengaja diminta) atau seorang peserta didik memperlihatkan kepada seluruh kelas sesuatu proses. Untuk pembelajaran PAI, pelaksanaan metode ini bisa berupa peragaan cara mengkafani jenazah.
4) Metode Resitasi
Adalah suatu metode pengajaran dengan mengharuskan siswa membuat rangkuman atau resume dengan kalimat sendiri. Dalam bahasan materi PAI hal tersebut bisa berupa resensi buku atau makalah, dan metode ini juga bisa digabungkan dengan metode diskusi yang mengasyikkan.
5) Metode Eksperimental
Merupakan cara pengelolaan pembelajaran di mana para peserta didik melakukan aktivitas percobaan dengan mengalami dan membuktikan sendiri suatu yang dipelajarinya. Dalam metode ini siswa diberi kesempatan untuk mengalami sendiri atau melakukan sendiri dengan mengikuti suatu proses, mengamati suatu obyek, menganalisis, membuktikan dan menarik kesimpulan sendiri tentang obyek yang dipelajarinya. Seperti dalam materi bahasan fiqih yang membutuhkan praktek, metode ini dapat menjadi alternative pilihan seperti saat mencoba manasik haji hingga mencoba memakai kain ihram yang dililitkan tanpa jahitan itu.
6) Metode Study Tour
Metode mengajar dengan mengajak para peserta didik untuk mengunjungi suatu obyek guna memperluas pengetahuan dan selanjutnya peserta didik membuat laporan dan mendiskusikannya serta membukukan hasil kunjungan tersebut dengan didampingi oleh pendidik. Praktek metode ini dapat berupa kunjungan ke tempat-tempat bersejarah di tanah suci atau paling sederhana yaitu dengan mendatangi pasar untuk mengetahui praktek jual beli dalam materi bahasa fiqih.
Kesimpulan
Pendidikan adalah mekanisme fundamental untuk perubahan sosial yang lebih baik. Ini adalah kekuatan pendorong bagi setiap Negara untuk maju dan berkembang, makmur, dan mengatasi permasalahan internal di Negara tersebut. Pendidikan dapat memberdayakan orang dengan cara yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Tujuan pendidikan sangat luas, memiliki dua bagian dalam serta luar dan tentu juga saling melengkapi. Namun, pendidikan kita tidak berfungsi dalam arti saat ini. Kita telah memisahkan tujuan pendidikan kita dari moralnya. Lebih atau kurang, pada saat ini, para guru hanya berusaha untuk mencapai keuntungan duniawi saja dan membangun generasi yang baik. Oleh karena itu, sistem pendidikan kita harus dirubah dan peran guru PAI juga tak kalah penting dalam membangung karakter siswa dengan mengikuti ajaran-ajaran Rasul. Dapat kita analisa bahwa peran guru dalam pendidikan agama Islam di sekolah sebagai berikut, sebelum proses pembelajaran.
Pertama, guru sebagai perencana atau planer atau desainer, artinya sebelum proses pembelajaran berlangsung guru harus merencanakan sendiri proses pembelajaran yang akan dilakukan baik berupa materi, metode dan alat atau media yang akan digunakan, bahkan instrument apa yang akan digunakan dalam melakukan evaluasi pembelajaran. Kedua, guru sebagai konservator atau penjaga sistem nilai, dengan kata lain guru bisa dijadikan tauladan atau contoh yang baik bagi peserta didik. Ketiga, guru sebagai pengganti orang tua ketika berada di sekolah, dengan peran ini guru bisa dekat dengan para peserta didik sehingga bisa membantu kesulitan yang dihadapi oleh peserta didik. Pada waktu pembelajaran:
Pertama, guru sebagai organisator, maksudnya adalah guru harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesusai dengan rencana. Kedua, guru sebagai fasilitator, artinya guru mampu memfasilitasi siswa dalam rangka mengembangkan potensi dirinya. Ketiga, guru sebagai teman belajar. Keempat, guru sebagai pembimbing, dimana guru dituntut untuk mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam hal belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya. Kelima, guru sebagai transformator atau penerjemah sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya dalam proses interaksi dengan sasaran peserta didik. Keenam, guru sebagai innovator, artinya guru memberikan inovasi-inovasi dalam proses pembelajaran maupun pengembangan sistem nilai.
Sesudah melaksanakan pembelajaran, guru memiliki peran sebagai penilai atau evaluator uang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.
Daftar pustaka
Monjur Mahmood, Meer, Education and Islamic Character: A study.
Syahidin, Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Quran, Bandung: Penerbit Alfabeta, 2009.
Ainiyah Nur, Pembentukan Karakter Melalui Pendidikan Agama Islam, Vol 13, No 1 Juni, 2013.
Anwar Syaiful, Peran Pendidikan Agama Islam Dalam Membentuk Karakter, Vol 7 November 2016.
Budiman Agus, Efisiensi Metode dan Media Pembelajaran dalam Membangun Karakter Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Vol 8, No 1 Juni 2013.
Kuswanto Edi, Peranan Guru PAI dalam Pendidikan Akhlak di Sekolah, Vol 6, No 2 Desember 2014.
Edi Kuswanto, Peranan Guru PAI dalam Pendidikan Akhlak di Sekolah, Vol 6, No 2 (Desember 2014), 217-219
0 komentar:
Posting Komentar